Menelisik Sejarah Hitam Kopi di Bengkulu

Oleh : Donny Osmond

Woii sudah ngopi belum ?
Ngopi woi, ngopi.!

Beritarafflesia.com- Dua kalimat berbeda, kalimat pertanyaan dan ajakan memiliki pesan yang sama.
Kalimat seruan yang akrab kita lihat dan dengar beberapa tahun belakangan ini. Kedua kalimat tersebut mengandung pesan meminum kopi itu enak. Meskipun kopi dari jenis tanaman, namun dapat bermakna sebagai aktivitas meminum kopi. Saat ini semua orang dapat menikmati kopi di mana saja dengan mudah. Tentunya masing-masing memiliki kesan tersendiri saat meminum kopi.

22 tahun yang lalu.
Meminum kopi melahirkan peristiwa dan momentum bersejarah dalam hidupku.
Di kantin fisipol UNIB, bertemu seorang wanita yang dapat merubah status lajang ku. Ritual rutin minum kopi saat itu, terasa begitu manis dan indah untuk dikenang.

Tetapi tahu kah bila kopi menyimpan sejarah yang kelam ?

Di zaman yang lampau, Bengkulu sudah dikenal terutama karena hasil buminya yang melimpah.
Hal ini tentunya menjadi perhatian negara-negara kolonialis Barat.
Namun kopi baru hadir dan mulai dikenal di masa pemerintahan kolonial Inggris berkuasa, pada tahun 1807.
Di masa itu aktivitas meminum kopi di kalangan atas sedang menjadi tren di Eropa. Permintaan biji kopi dari berbagai negara didunia pun menjadi meningkat. Sehingga menjadikan tanaman kopi bernilai ekonomis, dan memicu produksi.

Di masa yang sama Bengkulu berada dalam kekuasaan Keresidenan Inggris, di kenal dengan nama Bencoelen.Thomas Parr yang sebelumnya bertugas di Benggala India, pada tanggal 27 September 1805 menginjakkan kaki di Bencoelen. Thomas Parr ditunjuk sebagai Residen menggantikan Walter Ewer.
Semasa bertugas di British East Company, rakyat menunjukkan sikap patuh dan pasrah menuruti apa yang ia diperintahkannya Parr menerapkan manajemen kepemimpinan tiran dan otoriter.

Bermodalkan pengalaman yang dimiliki,
Parr berambisi ingin mengembalikan kejayaan yang pernah dialami East India Company (EIC) di Bencoelen.
Dimana Seabad yang lalu perdagangan lada meningkat, perusahaan mendapatkan keuntungan yang besar di Bencoelen. Sehingga Keresidenan dapat menjadi penyumbang devisa yang besar bagi Kerajaan Inggris.

Setelah mempelajari situasi, menginventaris masalah, parr menyusun program kerja. Sebagai target jangka pendek, Parr ingin kinerja perusahaan ditingkatkan. Disamping itu untuk merealisasikan visi besarnya, berbagai konsep beserta langkah-langkah taktis dan strategis pun disusun. Saat itu permintaan atas biji kopi sangat tinggi dari Eropa.
Residen Parr mengeluarkan instruksi untuk memperluas lahan perkebunan pala dan cengkeh. Dengan tujuan agar lahan tersebut dapat ditanami dengan tanaman baru.

Di bidang perkebunan, Parr melaunching program unggulan menanam kopi.
Melalui Surat Keputusan Residen sistem tanam paksa mulai digunakan.
Dapat dikatakan semua rakyat Bencoelen saat itu berprofesi sebagai petani.
Setiap orang laki-laki atau kepala rumahtangga, wajib menanam pohon kopi
di lahan sendiri. Jumlah pohon yang wajib ditanam ditentukan oleh status sosial.
Dimasa itu kopi hanya dapat dinikmati oleh para bangsawan saja, dan sebagai komoditas ekspor.

Baca Juga  Faktor Intelektualitas tidak di Pandu dengan Spiritualitas bisa Menghasilkan Perbuatan Liar dan Brutal

Alkisah..
Di wilayah Sungai Hitam Dusun Besar dan wilayah-wilayah lainnya.
Beberapa kepala keluarga yang terciduk tidak menjalankan instruksi.
Mereka dihukum dengan cara dijemur dibawah panasnya terik matahari, dipukuli hingga babakbelur. Lantas diseret sambil dihajar bertubi tubi didepan kalayak ramai, seperti binatang. Bahkan Parr tidak segan-segan untuk memberikan air seninya, untuk diminumkan kepada rakyat yang keausan dalam penyiksaan.

Residen Thomas Parr memerintah dengan sangat kejam dan bersikap sombong yang menyakiti hati rakyat pribumi. Sikap Parr yang sangat arogan dinilai telah banyak melukai hati rakyat.

Untuk merespon berbagai aspirasi masyarakat yang banyak mengeluhkan Parr dalam menjalankan kekuasaan. Adipati Dusun Besar lantas mengundang Parr untuk bermusyawarah, agar menemukan solusi, dan melahirkan kesepakatan bersama. Akan tetapi, niat baik Adipati tidak mendapatkan respon yang diharapkan. Tanpa ada konfirmasi, Parr tidak hadir memenuhi undangan.

Sistem Tanam paksa yang dijalankan dinilai sebagai metode yang efektif, efisien dan tepat mewujudkan visinya. Parr percaya perlawanan rakyat akan segera surut dengan sendirinya. Apalagi
jumlahnya serdadu EIC cukup besar dimiliki saat itu, berpengalaman, dan profesional. Demi kewibawaan pemerintah, hukum harus ditegakkan meski langit akan runtuh. Parr yakin tindakan represif dapat menghentikan pembangkangan warga pribumi yang melakukan pemogokan dan demonstrasi.
Keyakinan Parr semakin kuat melihat
Letnan Hastings Dare baru kembali usai memimpin ekspedisi keamanan di daerah Ipuh, Muko-muko, dan sekitarnya.
Dalam operasi yang digelar tanggal 22 Desember 1807, gerombolan pengacau keamanan berhasil dibunuh dan perlawanan mereka berhenti.

Disisi lain, rakyat merasakan keangkuhan, kesombongan dan kesewenang-wenangan Residen Parr semakin menjadi. Nilai dan tradisi luhur, kehormatan serta harga diri masyarakat sudah terinjak injak.
Perasaan benci dan dendam secara psikologis merasuki hati seluruh rakyat pribumi Bencoolen.
Kepemimpinan otoriter Residen Parrr yang ugal-ugalan telah menimbulkan berbagai penindasan dan kezaliman.

Dibeberapa daerah Bencoelen lainnya, rakyat mulai melakukan konsolidasi dan penggalangan. Di Bintuhan, rakyat yang marah turun kejalan mengutuk kebijakan Residen Thomas Parr. Mereka melakukan aksi anarkis dengan membakar Kantor perwakilan Inggris.
Kerusuhan diberbagai tempat tak dapat dicegah, menjalar dengan cepat dari suatu distrik ke distrik yang lain. Kondisi sosial politik dan keamanan semakin memburuk.

Baca Juga  Perkenalkan, "Aku Bengkulu Bumi Merah Putih" Bukan Bumi Rafflesia

Pasca insiden itu, pihak Inggris langsung merespon dengan melakukan langkah preventif. Serdadu-serdadu yang berasal dari Sipai, Benggala dan Bugis ditempatkan untuk memperketat penjagaan di setiap kantor Kompeni Inggris.

Menyadari gejala-gejala sosial yang mulai muncul pada rakyat Bencoolen.
Dimana pergerakan rakyat mulai semakin terkoordinasi. Residen Parr merasa situasi sudah tidak kondusif, dan dapat berujung pada perlawanan rakyat semesta.

Parr kewalahan, merasa khawatir dan mulai merespon situasi yang terjadi.
Kebijakan protektif terpaksa harus diambil, Parr mengeluarkan perintah bahwa sistem Tanam Paksa dihentikan, untuk waktu yang belum diputuskan.

Sementara itu, Meskipun Dekrit Residen sudah diumumkan, namun disinformasi terjadi.
Rakyat yang berasal dari suku Lembak di wilayah Sungai Hitam, Dusun Besar, Pagar Dewa, Sukarami, dan Lagan tidak mendapatkan informasi terkait dekrit yang dikeluarkan Residen Parrr. Padahal domisili mereka berada tidaklah jauh dari pusat pemerintahan keresidenan.

Pada pertengahan tahun 1807, mereka menggelar musyawarah besar yang dihadiri oleh Adipati dusun Besar, Sukarami, Pagar Dewa, Lagan, dan beberapa kepala adat dari wilayah disekitarnya

Dalam musyawarah ini melahirkan beberapa kesempatan dan keputusan dibuat.
Prilaku Parr sangat kejam, telah menyebabkan kerugian dan penderitaan bagi rakyat. Residen Thomas Parr sudah melewati batas, urusan internal ke Adipatian banyak diintervensi.
Dengan kesempatan bulat mereka berkomitmen, tirani harus dilawan.
Sudah saatnya kediktatoran dihilangkan dari bumi Bangkahulu.
Bak bola salju, gayung pun bersambut.
Dukungan untuk melakukan perlawanan datang dari berbagai lapisan masyarakat. Para elit pribumi, tokoh masyarakat, pemuka adat, dan para tokoh pemuda banyak menyatakan
dukungannya.

Dikemudian hari, secara diam-diam melalui perantara Depati Sukarami Rajo Lelo, Daeng Marbella menyatakan akan ikut bergabung dalam perlawanan.
Beberapa tahun yang lalu, Daeng
dipecat dari jabatan ketua dewan pangeran secara sepihak.
Sebagai seorang capten yang memimpin serdadu bayar Bugis Corp, Daeng merasa harga dirinya telah dirampas dan diinjak-injak.

Beberapa saat sebelum dimulainya penyerangan, koordinasi pematangan rencana dilakukan. Para Hulubalang Adipati Sukarami Dusun Besar dan masyarakat lainnya berbaiat (sumpah) setia, mereka akan menghabisi Thomas Parr.
Depati Sukarami Rajo Lelo bertindak sebagai pemimpin dalam penyerbuan di Mount Felix yang menjadi kediaman resmi Residen (Lokasi yang sekarang menjadi gedung daerah). Sesuai rencana penyerangan akan dimulai Kamis tengah malam, tanggal 23 Desember 1807.

Dibawah komando Pangeran Natadirja III,
Rajo Lelo, dan Adipati Sukarami.
Tanpa ragu langsung menyerbu ke tempat peristirahatan Thomas Parr di Mount Felix. (Lokasi yang sekarang menjadi gedung daerah). Penyerangan rakyat bersenjata
pada simbol pemerintahan Inggris berlangsung dengan sangat cepat.
Serangan awal dilakukan dengan melumpuhkan pasukan pengawal Residen. Selanjutnya, tiga orang pemimpin pasukan menerobos masuk menuju kamar tidur Parr.

Baca Juga  Fenomena Taruhan Bola Pada Piala Dunia 2022 Dalam Kacamata Teori Komunikasi

Asisten Residen Charles Murray mencoba menghadang, berusaha melindungi atasannya. Dalam pertarungan tersebut Murray dapat dilumpuhkan dengan mudah. Istri Parr, Frances Raworth yang menjadikan dirinya sebagai perisai hidup suaminya juga dapat diamankan. Istri Parr hanya mengalami luka kecil dan sengaja dibiarkan untuk tetap hidup.

Residen Thomas Parr tewas secara mengenaskan, dengan tubuh tanpa kepala. Jabatan yang dijalankan secara ugal-ugalan, harus ditebusnya dengan nyawanya sendiri.

Asistennya Murray mengembuskan napas terakhir, karena luka-luka yang dialaminya beberapa hari kemudian.
Peristiwa terbunuhnya Residen Thomas Parr kemudian melahirkan peristiwa kelam bagi sejarah Bengkulu.
[Baca tulisan sebelumnya, ‘TRAGEDI KEMANUSIAAN DI BENGKULU’.]

Untuk memperingati peristiwa ini, pada tahun 1808 pemerintah Inggris membangun Monumen didekat benteng Marlborough sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan atas jasa dan kepahlawanan Thomas Parr.

Namun sebaliknya, bagi rakyat Bengkulu. Bangunan monumen ini, menjadi bukti sejarah perlawanan rakyat atas penindasan dan kejamnya penjajahan.
Masyarakat pribumi menjadikan sebagai simbol perlawanan, dan menyebutnya dengan nama Kuburan Bulek atau Tugu Bulek.

Beberapa tahun kemudian, datang kabar tentang Frances Parr. Ia dikabarkan mengalami kecelakaan dalam perjalanan pulang menuju London bersama putranya.

Memasuki awal abad ke -20, dimasa rezim berkuasa berganti. Komoditas kopi dapat
membawa dampak yang positif bagi masyarakat, khususnya yang berada di daerah Rejang dan Lebong. Ini dikarenakan daerah tersebut memang cocok bagi tanaman produk ekspor, khususnya kopi memiliki harga yang tinggi.
Kemakmuran dan kesejahteraan yang dirasakan sejak tahun 1913, berakhir di
tahun 1930. Akibat pruktuasi pasar dunia, harga kopi mulai turun.

Sejarah kopi di Bengkulu, menjadi bagian sejarah panjang dan kelam masa kolonial.
Sejarah kopi ikut mewarnai perjalanan sejarah bangsa. Dan rakyat Bengkulu,
telah memberikan sumbangsih terhadap kemerdekaan Indonesia.
Berbagai peristiwa heroik, menunjukkan peran menonjol yang tidak dapat terlupakan.

Pendudukan tanpa rasa kemanusiaan itu tidak hanya melahirkan penderitaan bagi rakyat. Tapi juga membangkitkan perlawanan akibat telah diinjak-injaknya nilai luhur dan tradisi luhur masyarakat sekitar.

Jadi bersyukurlah bagi yang hidup di masa sekarang ini, kita bisa minum kopi.
Ngopi ! ngopi !
Mmm, nikmat.

Demikianlah sejarah kelam kehadiran kopi di Bengkulu, untuk dapat diambil hikmah dan pelajaran.

Wassalam..

Share

Tinggalkan Balasan