Rejang Lebong, Beritarafflesia.com.- Salah satu identitas budaya tertua masyarakat Rejang Lebong, Silat Rejang Pat Petulai, kini berada pada situasi paling genting dalam perjalanan pelestariannya.
Minimnya pembiayaan operasional sejak awal tahun untuk kebutuhan latihan, perlengkapan, hingga pembinaan membuat tradisi ini berpotensi vakum pada tahun 2026. Kekhawatiran ini mencuat karena silat tersebut bukan sekadar seni bela diri, melainkan bagian penting dari jati diri masyarakat Rejang.
Saat ini, sekitar 4.000 warga Rejang Lebong masih aktif mempelajari silat ini. Angka tersebut menandakan betapa besar antusiasme masyarakat dalam mempertahankan warisan budaya leluhur.
Namun, tanpa adanya dukungan pendanaan yang memadai, aktivitas pendidikan budaya ini dikhawatirkan tidak dapat dilanjutkan.

Ketua Silat Rejang Pat Petulai, Aminudin, menyebut potensi vakum ini dapat membawa dampak besar terhadap keberlanjutan pewarisan budaya.
“Jika kegiatan berhenti satu atau dua tahun saja, mata rantai pewarisan bisa terputus. Generasi muda tidak lagi mendapat ruang belajar untuk memahami nilai leluhur dan identitas asli daerahnya,” ujar Aminudin.
Ia menegaskan bahwa ancaman vakum bukan hanya persoalan teknis latihan, tetapi hilangnya kesempatan pendidikan budaya yang selama ini disampaikan melalui kegiatan silat.
“Silat Rejang Pat Petulai adalah simbol yang menunjukkan siapa masyarakat Rejang Lebong. Ketika kegiatan ini berhenti, yang hilang bukan hanya gerakan, tetapi memori kolektif dan jati diri,” tambahnya.
Silat Rejang Pat Petulai telah terdaftar sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Provinsi Bengkulu dan kini tengah dipersiapkan menuju penetapan tingkat nasional. Namun proses tersebut menuntut bukti keberlangsungan aktivitas budaya yang stabil dan rutin. Jika kegiatan ini benar-benar terhenti, proses pencatatan nasional berpotensi terganggu.
Beberapa risiko yang mengancam, antara lain:
- Hilangnya ruang pendidikan budaya bagi generasi muda, yang selama ini dibentuk melalui latihan silat.
- Melemahnya identitas budaya Rejang Lebong, karena silat ini merupakan simbol kuat jati diri masyarakat Rejang.
- Risiko hilangnya tradisi di tingkat komunitas, akibat terhentinya regenerasi dan peran pelaksana utama.
- Terganggunya proses menuju WBTB nasional, yang membutuhkan bukti keaktifan komunitas budaya.
Kondisi ini menjadikan tahun 2026 sebagai fase penentu, apakah silat ini mampu bertahan atau justru terhenti.
Di tengah situasi ini, Aminudin dan para pelestari budaya berharap adanya perhatian serius dari pemerintah daerah, DPRD, serta instansi terkait yang membidangi pendidikan dan kebudayaan. Dukungan yang dibutuhkan bukan sekadar untuk organisasi, melainkan upaya menjaga keberlanjutan identitas budaya daerah.
Silat Rejang Pat Petulai selama ini telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, membentuk karakter generasi muda, serta memperkuat kohesi sosial. Jika tradisi ini hilang, akan muncul kekosongan budaya yang sulit tergantikan.
“Bagi kami, silat ini bukan sekadar kegiatan. Ini adalah jembatan penghubung antara generasi hari ini dengan nilai-nilai leluhur. Kami berharap ada langkah konkret untuk menjaga jembatan ini tetap berdiri,” kata Aminudin.
Ancaman vakum Silat Rejang Pat Petulai bukan lagi sekadar persoalan pelestarian budaya, tetapi persoalan menjaga identitas Rejang Lebong. Jika dibiarkan hilang, daerah ini berisiko kehilangan salah satu penanda sejarah terpenting yang selama ini menjadi kebanggaan masyarakatnya.
Para pelestari budaya berharap kondisi ini menjadi perhatian bersama agar Silat Rejang Pat Petulai tetap hidup, berkembang, dan diwariskan kepada generasi mendatang sebagai bagian dari kebanggaan masyarakat Rejang Lebong. (Wandra)Br













